Minggu, 08 Juli 2012

AHLI WARIS DAN SEBAB-SEBAB KEWARISAN


BAB I
PENDAHULUAN


Hukum waris islam yang telah dibawa Nabi Muhammad telah mengubah hokum waris Arab pra-Islam dan sekaligus mengubah struktur hubungan dalam suatu kekerabatan dan bahkan juga mengubah sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelum kedatangan Nabi, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda kecuali wanita dalam kalananelite. Bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.
Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli waris dengan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.
Kekurang pedulian umat islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahwa Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: “Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid”. Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang sebab-sebab mendapat warisan dan ahli waris















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mawaris
Secara bahasa mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras. Artinya harta peninggalan si mayit yang diwariskan kepada ahli warisnya. Secara istilahnya mawaris, dapat diartikan dengan ilmu yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang ditentukannya, serta cara pembagian harta peninggalan tersebut untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraid.
Untuk memahami ketentuan tentang mawaris, kita perlu menyimak dalil naqli dalam ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. an-nisa’ [4]:7)
Selain itu juga ada tiga ayat yaitu (an-nisa’: 11-12) dan (an-nisa’: 176), yang menjelaskan asas ilmu faraid, didalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Allah tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Dia menetapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dan kehidupan manusia, meniadakan kedzaliman, agar tidak ada perselisihan-perselisihan diantara berbagai pihak, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah. Dengan pembagian harta warisan secara adil, diharapkan para ahli waris dapat memanfaatkan harta bagiannya secara baik untuk mencukupi kebutuhan hidup dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Selain itu, menerapkan hukum mawaris dengan sendirinya berarti telah melaksanakan hokum Allah yang dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an.
Adapun rukun dalam waris ada tiga, yaitu:
1.      Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2.      Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.      Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

B.  Sebab-sebab Mendapatkan Warisan
Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memiliki hak untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab, yaitu:
1.    Hubungan darah atau kekerabatan
Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu hubungan keluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam ayat yang artinya, “orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal:75).
2.    Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana termuat dalam surah an-Nisa’[4] ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika akad telah dilakukan secara sah antara suami dan istri. Meskipun diantara keduanya belum pernah melakukan hubungan intim, hak pewaris tetap berlaku. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bias menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3.      Hubungan antara budak dengan yang memerdekakannya
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu. Zaman perbudakan. Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang yang telah memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan memiliki kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika yang mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaiman hadis berbunyi,”Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R. Bukhari dan Muslim).
     Hak untuk mendapatkan warisan diatas tersebut juga dapat hilang karena sebab-sebab tertentu. Beberapa hal yang menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan yaitu:
1.      Ahli waris sengaja melakukan pembunuhan kepada pewaris.
2.      Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris.
3.      Ahli waris bersetatus sebagai budak atau belum merdeka.


Adapun syarat-syarat dalam waris adalah:
1.      Meninggalkan seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hokum (misalnya dianggap telah meninggal).
2.      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

C.    Ketentuan Ahli Waris
Ahli waris yang ditinggal mati pewaris mungkin saja jumlahnya sangat banyak. Selain itu, antara mereka masing-masing mungkin memiliki derajat atau tingkatan yang berbeda-beda. Derajat ini dapat berdasakan hubungan keturunan, saudara atau perwalian. Oleh karena itu disini ada beberapa ketentuan tentang ahli waris, yaitu:
1.      Ashabul Furud
Yaitu orang yang berhak mendapatkan harta warisan dengan besar bagian yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasullullah saw. Yang akan mendapatkan bagian dari harta warisan sebanyak 25 orang yaitu 15 dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
a.       Pihak laki-laki
1. anak laki-laki dari yang meninggal
2. anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu dari pihak anak laki-laki, terus dalam garis kebawah, sepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki)
3. ayah
4. kakek (ayah dari ayah), terus dalm garis keatas sepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki.
5. saudara laki-laki (seibu sebapak)
6. saudara laki-laki (sebapak saja)
7. saudara laki-laki (seibu saja)
8. kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak)
9. kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja)
10. paman (saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak)
11. paman (saudara laki-laki bapak yang sebapak saja)
12. sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang seibu sebapak)
13. sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang sebapak saja)
14. suami
15. laki-laki yang memerddekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan majikannya), jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.
a.       Pihak Perempuan
1.  anak perempuan
2. anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya dalam garis kebawah, sepanjang pertaliannya dengan si mayit masih melalui kerabat laki-laki saja.
3.  ibu
4.  nenek (ibu dari bapak)
5.  nenek (ibu dari ibu)
6.  saudara perempuan yang seibu sebapak.
7.  saudara perempuan yang sebapak saja.
8.  saudara perempuan yang seibu saja.
9.  istri.
10.perempuan yang memerdekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan majikannya), jika simayit tidak meninggalkan ahli waris.
Apabila semua ahli waris, baik dari pihak laki-laki maupun perempuanada, yang berhak mendapat warisan yaitu:
1.      Ibu.
2.      Bapak.
3.      Anak laki-laki
4.      Anak perempuan.

2.      ‘Asabah (penerima sisa bagian)
‘Asabah berarti ahli waris yang menerima sisa bagianharta atau yang menghabiskanseluruh harta warisan jika ashabul furudnya tidak ada. Jika ada ashabul furudnya maka ‘asabah hanya mendapatkan sisa harta yang masih ada, tetapi bias juga tidak akan mendapatkanbagian sama sekali.
Ahli waris ‘asabah ada tiga macam, yaitu: ‘asabah binafsih atau sabah dengan dirinya sendiri, ‘asabah bil gair atau melalui perantara orang lain, dan ‘asabah ma’al gair atau asabah bersama-sama orang lain.
1.              Kelompok ‘asabah binafsi
a.    Anak laki-laki
b.   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c.    Bapak.
d.   Kakek.
e.    Saudara laki-laki sekandung.
f.    Saudara laki-laki sebapak.
g.   Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
h.   Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
i.     Paman yang sekandung dengan bapak.
j.     Paman yang sebapak dengan bapak.
k.   Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan bapak.
l.     Anak laki-laki dari paman sebapak.
m. Orang yang memerdekakan orang yang meninggal.

2.              Kelompok ‘asabah bil gair
a.    Anak perempuan bersama anak laki-laki.
b.   Cucu perrempuan bersama cucu laki-laki.
c.    Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
d.   Saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak.

3.              Kelompok ‘asabah ma’al gair
a.    Saudara perempuan sekandung, seorang atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki baik seorang atau lebih.
b.   Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan seorang atau lebih.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hukum Kewarsa Islam bersumber dari Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad agar diamalkan oleh umat islam. Al-Qur’an kadang-kandang berisi tentang pokok-pokoknya saja tentang kewarisan yang membutuhkan penjelasan serta contoh yang diberikan oleh Rasullullah. Berhubung peristiwa alam yang semakin berkembang, sedangkan contoh yang diberikan Rasul sangat sedikit karena usianya yang pendek , maka perlu seseorang berijtihat dari Al-Qur’an dan hadis itu untuk mengalirkan garis hokum baru pada peristiwa itu.
Hukum kewarisan islam pengertiannya terbatas pada peralihan harta dari yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, semata-mata akibat meninggal dunia itu. Garis pokok-pokok hukum kewarisan islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dengan sunnah Rasullulllah.













               














DAFTAR PUSTAKA


Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ed. 1, Cet. 8. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)

Thoyar, Husni, Al-Islam dan Kemuhamadiahan, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2008)

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, Cet. 9. (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

Ramulyo, Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata. Ed. 2. Cet. 1. (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)






































AHLI WARIS DAN SEBAB-SEBAB KEWARISAN



Description: E:\SCHOOL\IAIN SURAKARTA.jpg

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih
Dosen Pembimbing:
Abdul Aziz M. Ag




Disusun oleh:
Nur Aisah Budi Asinta                       : 26.10.1.1.018
Nuraida Ulfa                                       : 26.10.1.1.019



FAKULTAS DAKWAH DAN USHULUDDIN
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
IAIN SURAKARTA
2012














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang Di Sshientha Blog, Semoga Memberikan Informasi yang Bermanfaat